Rabu, 24 November 2010

filsafat Al-Ghazali dan Ibn Rusyd


Filsafat Al-Ghazali
Seperti diketahui, sebelum melakukan kritik terhadap filsafat, al-Ghazali terlebih dahulu mempelajari filsafat (baca: filsafat Yunani) secara khusus. Hasilnya, dia mengelompokkan filsafat Yunani menjadi tiga aliran, yaitu: 1) Dahriyyun (mirip aliran materialisme), 2) Thabi’iyyun (mirip aliran naturalis), 3) Ilahiyyun (nirip aliran Deisme).
Menurut al- Ghazali, yang pertama, Dahriyyun, mengingkari keterciptaan alam. Alam senantiasa ada dengan dirinya sendiri, tak ada yang menciptakan. Binatang tercipta dari sperma (nutfah) dan nutfah tercipta dari bintang, begitu seterusnya. Aliran ini disebut oleh al-Ghazali sebagai kaum Zindik (Zanadiqah).
Aliran yang kedua, yaitu Thabi’iyyun, aliran yang banyak meneliti dan mengagumi ciptaan Tuhan, mengakui adanya Tuhan tetapi justru mereka berkesimpulan “tidak mungkin yang telah tiada kembali”. Menurutnya, jiwa itu akan mati dan tidak akan kembali. Karena itu aliran ini mengingkari adanya akhirat, pahala-surga, siksa-neraka, kiamat dan hisab. Menurut al-Ghazali, meskipun aliran ini meng-imani Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tetapi juga temasuk Zanadiqah karena mengingkari hari akhir yang juga menjadi pangkal iman.
Aliran yang ketiga, Ilahiyyun, ialah kelompok yang datang paling kemudian diantara para filosof Yunani. Tokoh-tokohnya adalah Socrates, Plato (murid Socrates) dan Aristoteles (murid Plato). Menurut al-Ghazali, Aristoteles-lah yang berhasil menyusuan logika (manthiq) dan ilmu pengetahuan. Tetapi masih terdapat beberapa hal dari produk pemikirannya yang wajib dikafirkan sebagaimana wajib mengkafirkan pemikiran bid’ah dari para filosof Islam pengikutnya seperti Ibnu Sina dan al-Farabi. Menurut al-Ghazali, pemikiran filsafat Yunani seperti filsafat Socrates, Plato, dan Aristoteles, bahkan juga filsafat Ibnu
Sina dan al-Farabi tidak sesuai dengan yang dicarinya, bahkan kacau (tahafut). Malahan ada yang bertentangan dengan ajaran agama, hal yang membuat al-Ghazali mengkafirkan sebagian pemikiran mereka itu.
Seperti tertulis dalam kitab Tahafut al-Falasifah, kritik al-Ghazali terhadap para filosof itu terdapat dalam dua puluh (20) masalah yaitu:
kelompok Pendapat para Filosof berisi tentang: 1. Alam qadim (tidak bermula); 2. Alama kekal (tidak berakhir); 3. Tuhan tidak mempunyai sifat; 4. Tuhan tidak diberi sifat al-jins (jenis) dan al-fashl (diferensia); 5. Tuhantidak punya mahiyah (hakekat); 6. Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat (perincian yang ada di alam); 7. Planet-planet adalah binatang yang bergerak dengan kemauan; 8. Jiwa-jiwa planet mengetahui juz`iyyat; 9. Hukum alam tak berubah; 10. Jiwa manusia adalah substansi yang berdiri sendiri, bukan tubuh dan bukan ‘ardh (accident); 11. Mustahilnya kehancuran jiwa manusia; 12. Tidak adanya pembangkitan jasmani; 13. Gerak planet-planet punya tujuan.
Kelompok kedua adalah kelompok Ketidaksanggupan Para Filosof membuktikan hal-hal berikut: 14. Bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan Tuhan; 15. Adanya Tuhan; 16. Mustahilnya ada dua Tuhan; 17. Bahwa Tuhan bukanlah tubuh; 18. Bahwa Tuhan mengetahui wujud lain; 19. Bahwa Tuhan mengetahui esensinya; 20. Alam
yang qadim mempunyai pencipta.
Menurut al-Ghazali, dari dua puluh masalah tersebut, tiga di antaranya membawa kekufuran, sedang yang lain dekat dengan pendapat Muktazilah. (lihat: al-Munqidz min adh-Dhalal, hal. 15-16). Dan Muktazilah, kata al-Ghazali di tempat lain, karena mempunyai pendapat demikian tidak mesti dikafirkan.
Berikut ini percikan filsafat al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang bebarapa masalah. Pertama; masalah qadim-nya alam, bahwa tercipta dengan tidak bermula, tidak pernah tidak ada di masa lampau. Bagi al-Ghazali yang qadim hanyalah Tuhan. Selain Tuhan haruslah hadits (baru). Karena bila ada yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulkan paham:
1. Banyaknya yang qadim atau banyaknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan; atau
2. Ateisme; alam yang qadim tidak perlu kepada pencipta.
Memang, antara kaum teolog dan filosof terdapat perbedaan tentang arti al-ihdats dan qadim. Bagi kaum teolog al-ihdats mengandung arti menciptakan dari “tiada" (creatio ex nihilo), sedang bagi kaum filosof berarti menciptakan dari “ada”. Kata Ibnu Rusyd, ‘adam (tiada) tidak akan bisa berubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adalah “wujud’ berubah menjadi “wujud” dalam bentuk lain. Oleh karena itu, materi asal, yang dari padanya alam disusun, mesti qadim. Dan materi pertama yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui al-faidh (pancaran). Tetapi menurut al-Ghazali, penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Oleh sebab itu, alam pasti “baru” (hadits) dan diciptakan dari “tiada”. (al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, hal. 9 dan seterusnya).
Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptakan alam, yang ada hanyalah Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunya mencacat al-Ghazali sebagai baina al-falasifah wa al-mutakallimin, karena secara substansial al-Ghazali berfikir sebagai teolog, tetapi secara instrumental berfikir sebagai filosof. Tetapi, karena itu juga, di lain pihak justru al-Ghazali dinilai
“kacau” cara berfikirnya oleh Ibn Rusyd (Tahafut al-Tahafut). Apalagi tampak jelas kekacauan al-Ghazali itu, kata Ibnu Rusyd, ketika berbicara tentang kebangkitan jasmani yang terlihat paradoksal antara al-Ghazali sebagai teolog dan filosof dan sebagai sufi.
Kedua, mengenai Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pertentangan antara al-Ghazali dan para filosof tentang hal ini timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Jelas bahwa kekhususan (juz`iyyat) diketahui manusia melalui panca indera, sedangkan keumuman (kulliyah) melalui akal. (Baca Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, ed. Sulaiman Dunya, Cairo, Dar al-Maarif, 1964, hal. 711). Penjelasan Ibnu Rusyd selanjutnya: Tuhan bersifat immateri yang karenanya tidak terdapat panca indera bagi Tuhan untuk pengetahuan juz`iyyat. Selanjutnya, pengetahuan Tuhan bersifat qadim, sedang pengetahuan manusia bersifat baru. Pengetahuan Tuhan adalah sebab, sedang pengetahuan manusia tentang kekhususan adalah akibat. Kaum filosof, kata Ibnu Rusyd, tidak mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan tentang alam bersifat juz`i atau pun kulli. (Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal. 702-703). Begitulah tanggapan Ibnu Rusyd untuk menanggapi pendapat al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah itu.
Ketiga, tentang kebangkitan jasmani. Kritik al-Ghazali bahwa para filosof tidak percaya adanya kebangkitan jasmani, menurut Ibnu Rusyd salah sasaran. Yang benar, kata Ibnu Rusyd, bahwa para filosof tidak menyebut-nyebut hal itu. Ada tulisan mereka yang menjelaskan tidak adanya kebangkitan jasmani dan ada pula yang sebaliknya. (Ibnu Rusyd,
Di pihak lain, Ibnu Rusyd menuduh bahwa apa yang ditulis al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah bertentangan dengan apa yang ditulisnya mengenai tasawwuf. Dalam buku pertama (hal. 28, dst) semua orang Islam menyakini kebangkitan jasmani. Sedang dalam buku kedua ia mengatakan, pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah kebangkitan rohani dan bukan kebangkitan jasmani tidak dapat dikafirkan (Baca Ibnu Rusyd, Fash al-Maqal, hal. 16-17). Padahal al-Ghazali mendasarkan pengkafirannya kepada ijma’ ulama.
Tiga pemikiran itulah yang menjadi bahasan utama al-Ghazali dalam kitabnya Tahfut al-Falasifah, dan selanjutnya ia mengkafirkan para filosof lantaran pendapat mereka tentang tiga hal tersebut berbeda dengan pemikirannya. Tindakan pengkafiran inilah yang dianggap mempengaruhi dan membuat orang Islam enggan bahkan takut mempelajari filsafat, dan menjadi biang kemunduran pemikiran di kalangan umat Islam.
Filsafat Ibn Rusyd
Ibn Rusyd berpendapat bahwa Tuhan itu hanya dapat ditemukan dengan menggunakan akal. Ini berdasarkan pada ayat {فاعتبروا يا أولي الأبصار}. Menurutnya, ayat ini menunjukkan pada hukum wajibnya menggunakan qiyâs akal atau akal dan syariat secara bersamaan.
Dalam proses ini, ia menyatakan Tuhan itu hanya mungkin dengan mempelajari alam wujud yang diciptakannya, untuk dijadikan petunjuk bagi adanya pencipta ituPendapat ini dapat dilihat di dalam kitabnya yang berjudul Fashl al-Maqâl:
فإن الموجودات إنما تدل على الصانع بمعرفة صنعتها وأنه كلما كانت المعرفة بصنعتها أتم كانت المعرفة بالصانع أتم اهـ
Berdasarkan ini, Ibn Rusyd mengatakan syariat telah menunjukkan wujudnya Tuhan dengan memakai dua jenis dalil, yaitu 1. Dalil ‘inâyah; 2. Dalil `Ikhtirâ’ yang kedua-duanya terdapat di dalam Alquran. Menurut penelitian Ibn Rusyd, ayat-ayat Alquran bisa dibagi dalam 3 golongan. 1. Ayat-ayat yang berisi terhadap peringatan dalil ‘inâyah; 2. Ayat-ayat yang berisi peringatan dalil `Ikhtirâ’; 3. Peringatan terhadap kedua dalil tersebut bersama-sama.
Dalil ‘inâyah adalah sebuah dalil yang terdapat dua asas, yaitu apabila dilihat pada apa yang wujud di bumi ini maka sesuai (الموافقة) sekali dengan kehidupan manusia dan makhluk-makhluk lain. Asas kedua adalah persesuaian ini bukan terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukkan adanya penciptaan yang rapi dan teratur yang didasarkan pada ilmu dan kebijaksanaan. Dalil ini menunjukkan bahwa Allah dapat ditemukan dengan melihat makhluknya, dan inilah jalan yang ditempuh para filosof. Contohnya adalah adanya siang dan malam, matahari dan bulan, empat musim, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan hujan. Kesemuanya ini sesuai dengan kehidupan manusia. Seperti tangan dan anggota lain adalah sesuai dengan kehidupan dan kewujudan manusia. Wujud semua perkara ini pasti merupakan sebuah perencanaan yang bukan kebetulan.
Dalil ini dibuktikan dengan dalil syariat di dalam beberapa ayat, khususnya firman Allah:
أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا (6) وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا (7) وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا (8) وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا (9) وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (10) وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (11) وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا (12) وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا (13) وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14) لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتًا (15) وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا (16)
Terjemahan: 6. Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, 7. Dan gunung-gunung sebagai pasak?, 8. Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, 9. Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, 10. Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, 11. Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, 12. Dan Kami bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, 13. Dan Kami jadikan pelita yang Amat terang (matahari), 14. Dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, 15. Supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, 16. Dan kebun-kebun yang lebat?
Kelebihan dalil ‘inâyah ialah karena dalil tersebut mengajak kepada pengetahuan yang benar, bukan kepada sekedar debat, mendorong kita untuk memperbanyak penyelidikan dan menyingkap rahasia-rahasia alam, bukan untuk menimbulkan kesulitan dan kejanggalan. Seumpama dalil ‘inâyah yang telah lewat itu disandarkan pada asal mula sebabwujudnya dan penelitian pemikiran akan mungkin dan bisa wujud, maka dalil `Ikhtirâ’ pula berdasarkan pada asas perkara itu sendiri. Ini dapat digambarkan dengan apabila kita melihat pada beberapa jisim yang berupa materi, lalu kita menemukan ada kehidupan pada materi tersebut, maka kita akan mengetahuinya secara pengetahuan yang yakin bahwa di situ terdapat zat yang mewujudkan perkara tersebut. Karena sesungguhnya segala sesuatu pasti ada sebab, dan tidak ada satu perkara pun yang merupakan kebetulan.
Termasuk di dalam dalil `Ikhtirâ’ adalah wujudnya hewan dan jenis-jenisnya, wujudnya tumbuh-tumbuhan, dan langit. Dalil ini terbentuk pada dua dasar: 1. Semua perkara yang ada itu diciptakan; 2. Segala perkara yang diciptakan, pasti memiliki pencipta. Dalil ini dibuktikan dengan dalil syariat di dalam beberapa ayat, khususnya firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ
Terjemahan: 73. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya.
Di samping kedua dalil tersebut di atas (dalil ‘inâyah dan dalil `Ikhtirâ’), Ibn Rusyd mengemukakan dalil lain, yaitu dalil gerak (دليل الحركة). Dalil ini diambil dari Aristoteles. Dalil ini menyatakan bahwa alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yang abadi, dan gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama yang tidak bergerak (berubah) dan tidak bermateri yaitu Tuhan (a first cause of motion/unmoved mover). Namun, Ibn Rusyd mengingkari pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa gerakan benda-benda langit adalah qadîm, karena Ibn Rusyd mengatakan bahwa benda-benda langit gerakannya dijadikan Tuhan dari tiada (عدم) dan bukan dalam zaman (waktu), karena zaman tidak mungkin mendahului wujud perkara yang bergerak, selama zaman itu dianggap sebagai ukuran gerakannya. Jadi gerakan menghendaki adanya penggerak pertama atau sebab yang mengeluarkan dari tiada menjadi ada (wujud).
 Ibn Rusyd Menjawab Sanggahan al-Ghazâlî
Seperti yang telah diketahui, bahwa salah satu dari kelebihan Ibn Rusyd adalah usaha beliau di dalam menjawab sanggahan al-Ghazâlî terhadap filasafat yang mana jawaban tersebut tertuang di dalam kitab Tahâfut al-Tahâfut, Fashl al-Maqâl, atau lainnya.
al-Ghazâlî sebagai seorang `Asyâ’irah dan sufi berpendapat bahwa ada tiga (3) perkara yang membuat para filosof menjadi kafir, yaitu kepercayaan mereka bahwa alam itu qadîm; bahwa Allah tidak mengetahui perkara-perkara yang juz`îyyât; pengingkaran meraka terhadap kebangkitan tubuh-tubuh di akhirat kelak.
 Menurut Ibn Rusyd, bukan pemikiran filosof muslim yang rancu, melainkan pemikiran al-Ghazâlî sendiri. Tambahnya, judul buku al-Ghazâlî Tahâfut al-Falâsifah yang paling tepat adalah Tahâfut Abî Hâmid.
Bagi masalah yang pertama, al-Ghazâlî mengkafirkan para filosof tentang kepercayaan mereka akan alam itu qadîm. Salah satu hujjah yang dikemukakan al-Ghazâlî adalah mustahil wujudnya alam itu qadîm yang bersamaan wujudnya Allah yang juga qadîm. Ini dikarenakan Allah menjadikan alam. Berarti alam itu hudûts, yang asal mulanya dari tidak ada menjadi ada (الإيجاد من العدم).
Jawaban Ibn Rusyd dalam masalah ini, bahwa al-Ghazâlî salah faham akan qadîmnya alam menurut filosof. Menurut filosof, alam itu qadîm di dalam makna qadîm yang berbeda dengan qadîmnya Allah, yaitu yang ada (alam) menjadi sesuatu yang ada dalam bentuk yang lain (alam ini diciptakan dari materi yang sudah ada sebelumnya). Ini dikarenakan, penciptaan dari tiada (al-‘adam), menurut filosof muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil yang kosong) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti qadîm.
Ibn Rusyd mengatakan, bahwa al-Ghazâlî menganggap bahwa Allah itu pada awalnya sendirian di dalam menciptakan alam ini. Sedangkan menurut filosof, Allah menciptakan alam ini dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Untuk mengguatkan pendapat ini, Ibn Rusyd mengambil contoh pada dalil-dali:
Alquran, Surah al-Anbiyâ`, ayat 30: { أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُون };
Alquran, Surah Hûd, ayat 7: { وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ };
Alquran, Surah `Ibrâhîm, ayat 48: { يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ };
Alquran, Surah Fushilat, ayat 11: { ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ }.
Dari keterangan ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum alam ini diciptakan sudah ada sesuatu yang lain, yaitu air dan uap.
Maka dari ini, pendapat filosof muslimlah yang sesuai dengan lahir ayat, sedangkan kaum teolog muslim tidak sesuai dengan arti lahir ayat tersebut. Teolog muslim malah melakukan takwil, yang mana seharusnya dilakukan oleh filosof, dan vice versa.
 Menurut Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar; Ibn Rusyd mengatakan bahwa terjadinya perbedaan pendapat dalam hal ini antara teolog muslim dan filosof muslim adalah perbedaan dalam mengartikan kata qadîm dan al-`Ihdâts. Bagi kaum teolog muslim, qadîm diartikan sesuatu yang wujud tanpa sebab, sedangkan filosof muslim mengartikan sesuatu yang kejadiannya dalam keadaan terus-menerus tanpa awal dan tanpa akhir. Ini dapat dilihat dari intisari kata-kata Ibn Rusyd di dalam kitab Tahâfut al-Tahâfutnya:
لكن اطلاق اسم الحدوث على العالم كما اطلقه الشرع أخص به من اطلاق الأشعرية لأن الفعل بما هو فعل فهو محدث وانما يتصور القدم فيه لأن هذا الإحداث والفعل المحدث ليس له أول ولا آخر . قلت ولذلك عسر أن يسمى العالم قديما والله قديم وهم لا يفهمون من القديم إلا ما لا علة له وقد رأيت بعض علماء الإسلام قد مال إلى هذا الرأي
Demikian pula kata al-`Ihdâts. Menurut teolog muslim, al-`Ihdâts berarti menciptakan dari tiada menjadi ada. Sedangkan kaum filosof muslim berpendapat bahwa kata itu berarti mewujudkan dari ada menjadi ada dalam bentuk lain. Ini juga dapat dilihat dari intisari kata-kata Ibn Rusyd di dalam kitab Tahâfut al-Tahâfutnya:
وأما ان كان قديما بمعنى أنه في حدوث دائم وأنه ليس لحدوثه أول ولا منتهي فإن الذي أفاد الحدوث الدائم أحق باسم الإحداث من الذي أفاد الإحداث المنقطع وعلى هذه الجهة فالعالم محدث لله سبحانه واسم الحدوث به أولى من اسم القدم وإنما سمت الحكماء العالم قديما تحفظا من المحدث الذي هو من شيء وفي زمان وبعد العدم .
Ibn Rusyd secara jelas mengatakan qadîmnya alam. Akan tetapi, ia juga mengatakan alam itu hâdits. Dua sifat ini dapat diberikan pada alam, karena alam dapat ditinjau dari sisi yang berbeda-beda.
Di dalam kitab Fashl al-Maqâlnya Ibn Rusyd, ia menjelaskan bahwa perselisihan antara kaum teolog dan filosof muslim tentang alam ini hanyalah perselisihan dari segi penamaan atau semantik. Akan tetapi mereka sepakat bahwa segala yang ada ini terbagi menjadi tiga jenis. Berikut ungkapannya:
وأما مسألة قدم العالم أو حدوثه فإن الإختلاف فيها عندي بين المتكلمين من الأشعرية وبين الحكماء المتقدمين يكاد أن يكون راجعا للإختلاف في التسمية وبخاصة عند بعض القدماء وذلك أنه اتفقوا على أنها هنا ثلاثة أصناف من الموجودة طرفان وواسطة بين الطرفين فاتفقوا في تسمية الطرفين واختلافوا في الواسطة .
Tiga jenis tersebut adalah:
Wujudnya karena sesuatu yang lain dan dari sesuatu, dengan arti wujudnya ada Pencipta dan diciptakan dari benda serta didahului oleh zaman. Jenis ini adalah benda-benda yang dapat diketahui dengan indra, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, dan lainnya. Wujud ini mereka namakan dengan hâdits.
Wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman. Wujud ini sepakat mereka namakan dengan qadîm. Ia hanya dapat diketahui dengan bukti pikiran. Ia yang menciptakan segala yang ada dan memeliharanya. Wujud yang qadîm ini disebut Allah SWT.
Wujud di tengah-tengah antara kedua jenis di atas, yaitu wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman, tetapi terjadinya karena sesuatu (diciptakan Zat-pembuat). Wujud ini adalah alam keseluruhannya.
Bagi masalah yang kedua, al-Ghazâlî mengkafirkan para filosof tentang pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui perkara yang juz`îyyât (partikel).
Dalam menjawab masalah ini, Ibn Rusyd menegaskan bahwa al-Ghazâlî salah faham sebab tidak ada filosof muslim yang mengatakan demikian. Yang dimaksudkan filosof muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang parsial di alam ini tidak sama dengan pengetahuan manusia.
Pengetahuan Allah SWT bersifat qadîm (Allah mengetahuinya sejak azali). Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedangkan pengetahuan manusia bersifat hâdits. Begitu juga pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan manusia berbentuk akibat.
 Begitu juga menurut Ibn Rusyd. Pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz`î dan kullî. Juz`î adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindra. Kullî mencakup berbagai jenis. Kullî bersifat abstrak, yang hanya dapat diketahui melalui akal,
Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindra untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz`î dan kullî. Bagi masalah yang ketiga, al-Ghazâlî mengkafirkan para filosof tentang pengingkaran mereka terhadap kebangkitan jasmani. Menurut Ibn Rusyd, pernyataan ini adalah tidak benar.
Menurutnya, kebangkitan jasmani telah tersiar kurang lebih 1000 tahun yang lalu (dari zaman Ibn Rusyd), sedang usia filsafat kurang dari masa itu. Orang yang pertama-tama mengatakan adanya kebangkitan jasmani adalah nabi-nabi Bani Israel yang datang sesudah Nabi Musa AS. Sebagaimana juga yang terdapat di dalam kitab Zabur, dan kitab-kitab lainnya dari Bani Israel. Injil juga menyebutkannya.
 Bahkan nampaknya keimanan mereka terhadap kebangkitan tersebut lebih besar dan sangat dijunjung tinggi, karena soal kebangkitan jasmani bisa dipakai untuk menuntun manusia dalam mencapai kebahagiaan pribadi.
Adanya prinsip-prinsip syariat seperti macamnya kebahagiaan di akhirat, mengakui adanya alam akhirat sesudah mati, meskipun semua agama dalam pembicaraannya tidak sama, namun hal ini tidak perlu dibicarakan tentang apa atau tidaknya. Seperti apakah Tuhan itu ada atau tidak ada. Demikian juga tentang wujud kebahagiaan di akhirat, sifat Tuhan dan perbuatan-Nya.
Akan tetapi, suatu yang pasti adalah apa yang ada di dunia dengan di akhirat itu tidak sama. Ini dikarenakan alam akhirat lebih tinggi dibanding alam dunia. Ibn ‘Abbas meriwayatkan “Tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal yang bersifat keduniaan kecuali nama saja”.
 Menurut Ibn Rusyd, apa yang dikemukakan oleh al-Ghazâlî adalah baik. Akan tetapi dalam perlawanan tersebut jiwa harus diperkirakan tidak mati, seperti yang ditunjukkan dalil-dalil akal dan syariat. Juga harus diperkirakan bahwa yang akan kembali di akhirat nanti adalah seakan-akan seperti perkara yang terdapat dalam dunia, bukan perkaranya sendiri, karena perkara yang telah hilang itu sendiri tidak akan kembali, seperti yang dikemukakan al-Ghazâlî.
Menurut Ibn Rusyd, sikap al-Ghazâlî sendiri tidak konsisten yaitu saling bertentangan dengan ucapannya sendiri. Dalam kitab Tahâfut al-Falâsifah, al-Ghazâlî mengatakan tidak ada seorang muslim pun yang berpendapat bahwa kebangkitan jasmani tidak ada. Akan tetapi, dalam kitabnya mengenai tasawuf, ia mengatakan bahwa pendapat kaum sufi yang ada nanti hanya kebangkitan rohani.
 Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd, tuduhan kafir yang dilontarkan al-Ghazâlî terhadap para filosof muslim dalam tiga butir masalah di atas tidak pada tempatnya. Ini dikarenakan antara al-Ghazâlî dengan filosof muslim terdapat perbedaan pandangan terhadap ayat-ayat kebangkitan akhirat misalnya. Hal ini lumrah terjadi di kalangan ulama Islam. Kendatipun diandaikan interpretasi mereka keliru, namun kesalahan mereka termasuk kesalahan ijtihad yang bisa dimaafkan. Ini didasari hadis “إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإذا أخطأ فله أجر واحد” Jika tuduhan dilontarkan kepada para filosof muslim karena melanggar ijmak, maka dalam pemikiran tidak terjadi ijmak ulama secara pasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar